TUGAS KELOMPOK
KAJIAN SASTRA MELALUI PENDEKATAN
PSIKOLOGI SASTRA CERPEN KISAH PILOT BEJO KARYA BUDI DARMA
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Sastra
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Retno Wardani, M. Pd.
Oleh:
Abdurrakhman Hadiyanto S841402001
Sri Amar S. Luguy S841402034
Yohanes
Andri S S841402041
Zully Ismawati S841402042
PROGRAM
PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
A.
Biografi
Pengarang
Nama : Prof. Dr. Budi Darma
Lahir : Rembang, Jawa Tengah 25 April 1937
Prestasi :
- Hadiah Pertama Sayembara Mengarang Naskah Roman Dewan Kesenian Jakarta atas novelnya Olenka (1980)
- Penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta atas novelnya, Olenka, sebagai novel terbaik (1983)
- Penghargaan Sea Write Award dari pemerintah Thailand atas karyanya yang berjudul Orang-Orang Bloomington (1984)
- Penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia (1993)
- Penghargaan dari Kompas atas cerpennya, “Derabat”, sebagai cerpen terbaik (1999).
- Cerpen Pilihan Kompas 2001 melalui cerpennya Mata yang Indah,
7. Hadiah Sastra ASEAN,
8. Satyalencana Kebudayaan dari
Presiden RI,
- Dan masih banyak lainnya.
Ia anak keempat dari enam bersaudara yang semuanya
laki-laki. Kedua orang tuanya berasal dari Rembang. Ayahnya bernama Munandar
Darmowidagdo dan bekerja sebagai pegawai kantor pos. Ibunya bernama Sri
Kunmaryati. Karena pekerjaan ayahnya, Budi darma sering
berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya, antara lain di bandung,
Yogyakarta, dan Semarang. Budi Darma menikah pada tanggal 14 Maret 1968 dengan
Sitaresmi, S.H., yang lahir 7 September 1938. Dari pernikahannya itu, mereka
dikaruniai tiga orang anak, yaitu Diana (lahir di Banyuwangi, 15 Mei 1969),
Guritno (lahir di Banyuwangi, 4 Februari 1972), dan Hannato Widodo (lahir di
Surabaya, 3 Juni 1974).
Riwayat pendidikan:
No
|
Jenjang
|
Lokasi
|
Tahun Lulus
|
1.
|
SD
|
Kudus, Jawa Tengah
|
1950
|
2.
|
SMP
|
Salatiga, Jawa Tengah
|
1953
|
3.
|
SMA
|
Semarang, Jawa Tengah
|
1956
|
4.
|
S1
|
Universitas
Gajah Mada, Jogjakarta Jurusan Sastra
Bahasa Inggris
|
1963
|
5.
|
Pelatihan
Internasional
|
International Writing Program Di Universitas Iowa, Amerika Serikat
|
1967
|
6.
|
Beasiswa
Internasional
|
East West Centre Jurusan Ilmu Budaya Dasar (Basic
Humanities) Di Universitas Hawai, Honolulu, Amerika Serikat
|
1971
|
7.
|
S2
|
Universitas Indiana, Bloomington, Indiana, Amerika Serikat
|
1975
|
8.
|
S3
|
Universitas Indiana, Bloomington, Indiana, Amerika Serikat
|
1980
|
Sumbangan
Budi Darma kepada kehidupan sastra sangat besar. Dalam kerangka kerja sama
Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Budi Darma membimbing cerpenis dan
esais muda berbakat dari Brunai Darussalam, Indonesia, dan Malaysia dalam wadah
Program Penulisan Mastera (1998—1999).
Hasil karya
Budi Darma berbentuk cerita pendek, novel, esai, dan puisi yang tersebar di
berbagai media massa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Budi Darma
dianggap memelopori penggunaan teknik kolase, yaitu teknik penempelan potongan
iklan bioskop dan tiket pertunjukan dalam karya-karyanya, seperti Orang-Orang Bloomington dan Olenka. Berikut ini adalah karya Budi
Darma.
1. Orang-Orang
Bloomington (kumpulan cerpen, 1950)
2. Ny. Talis
(novel, 1983)
3. Olenka (novel,
1997)
4. Rafilus (novel,
1988)
5. Sejumlah Esai
Sastra (kumpulan esai, 1984)
6. Solilokui
(kumpulan esai, 1983)
7. Harmonium (kumpulan
esai, 1996)
8. Derabat
(cerpen, 1999)
9. The Legacy
karya Intsi V. Himanyunga (terjemahan, 1996)
10. Sejarah 10
November 1945 (1987)
11. Culture in
Surabaya (1992)
12. Modern Literature
of ASEAN (2000)
13. Kumpulan Esai
Sastra ASEAN (Asean Committee on Culture and Information)
Kisah Pilot Bejo
Budi Darma
Kisah seorang pilot kocak yang memiliki sejarah keluarga
yang bekerja pada bidang mengangkut orang. Leluhurnya yang menjadi kusir, lalu
keturunannya menjadi masinis, dan setelah darah nenek moyang mengalir kepada
dia, dia menjadi pilot. Nama Bejo, diberikan dengan tujuan selalu mendapat
nasib yang beruntung karena bejo berarti “selalu beruntung,” ayahnya bernama
Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama Sugeng,
Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah.
Pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot
sebuah maskapai penerbangan AA (Amburadul Airlines), yaitu perusahaan yang
dalam banyak hal bekerja asal-asalan yang hampir bermasalah tiap tahunnya. Perjuangan
Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah lulus SMA dia
menganggur, lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah saat itu.
Untunglah ayahnya mau menolong lewat pamanya yang bernama Bablas, ia lebih memilih
menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi pedagang yang tidak tanggung-
tanggung.
Paman Bablas pernah berkhotbah:
“Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah berhasil seperti aku, heh,
dapat menjadi politikus, setiap saat bisa menyogok, dan mendirikan maskapai
penerbangan sendiri, kalau perlu kelas bohong-bohongan.” Paman Bablas menanggung
semua biaya pendidikan Bejo selama di Akademi Pilot sampai lulus. Setelah lulus
bejo bekerja di SA (Sontholoyo Airlines) yang ternyata semua aset perusahan
bukan milik sendiri. Ujian kesehatanpun dia lulus meski pernah operasi usus
buntu namun dokter yang memeriksa menyatakan lulus, dokter Gemblung namanya.
Pada hari pertama akan terbang, dia
menunggu jemputan dari kantor. Dia tahu, beberapa hari sebelum terbang dia
pasti sudah diberi tahu jadwal penerbangannya, tapi hari itu dia tidak tahu
akan terbang ke mana. Akhirnya, memang jemputan datang. Sopir ngebut cepat sekali,
katanya dia baru tahu dari bos, bahwa hari itu sekonyong-konyong dia harus
menjemput Pilot Bejo. Begitu tiba di kantor ia mendadak diberi tahu untuk
terbang ke Makassar dan dia bertanya data-data terakhir mengenai pesawat kepada
bosnya. Dengan nada serampangan bos berkata: “Gitu saja kok ditanyakan. Kan
sudah ada yang ngurus. Terbang ya terbang.” Sebelum masuk pesawat dia sempat
melihat sepintas semua ban pesawat sudah gundul, cat di badan pesawat sudah
banyak mengelupas, dan setelah penumpang masuk, dia sempat pula mendengar
seorang penumpang memaki-maki karena setiap kali bersandar, kursinya selalu
rebah ke belakang.
Berjalan hari demi hari ia tidak
berkeberatan lagi untuk dijemput terlambat lalu dijemput ngebut, tidak perlu bertanya
ini itu. Dia percaya darah nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia,
apa pun yang terjadi. Suatu ketika Pilot Bejo dalam keadaan payah karena jadwal
sering berubah-ubah dengan mendadak, gaji yang tak naik-naik, beberapa kali
mendapat teguran keras karena beberapa kali melewati jalur yang lebih jauh
untuk menghindari badai, dan entah karena apa lagi. Demikianlah, dalam keadaan
lelah, dengan mendadak dia mendapat perintah untuk terbang ke Nusa Tenggara
Timur. Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa penumpang
berteriak-teriak ketakutan. Bejo tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil
jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia
tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos
lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat.
Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan kedudukan yang
disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, “tidak layak lagi untuk menjadi
pilot selama hayat masih di kandung badan,” dengan alasan “membahayakan jiwa
penumpang.”
Dalam keadaan gawat pesawat harus bermanuver
mendadak, kadang-kadang harus melesat ke atas dengan mendadak pula, dan harus
gesit membelok ke sana kemari untuk menghindari halilintar. Tapi dia tahu, bos
akan marah karena dia akan dituduh memboros-boroskan bensin. Dia juga tahu,
dalam keadaan apa pun seburuk apa pun, dia tidak diperkenankan untuk melaporkan
kepada tower di mana pun mengenai keadaan yang sebenarnya. Kalau ada pertanyaan
dari tower mana pun, dia tahu, dia harus menjawab semuanya berjalan dengan amat
baik. Tapi, dalam keadaan telanjur terjebak semacam ini, pikirannya kabur,
seolah tidak ingat apa-apa lagi, kecuali keadaan pesawat. Bisa saja dia
mendadak melesat ke atas, menukik dengan kecepatan kilat ke bawah, lalu belok
kanan belok kiri untuk menghindari kilat-kilat yang amat berbahaya, namun dia
tahu, pesawat pasti akan rontok.
Semua penumpang menjerit-jerit,
demikian pula semua awak pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak
menjerit, tapi berteriak-teriak keras: “Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo
penumpangku!” Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan.
Kompas, edisi 29
juli 2012.
C.
Pendekatan
psikologi sastra
Walgito (2004:l) menjelaskan bahwa, ditinjau dari segi
bahasa, psikologi berasal dari kata psyche yang berati Jiwa'dan
logos berarti 'ilmu' atau 'ilmu pengetahuan', karena itu psikologis
sering diartikan dengan ilrnu pengetahuan tentang jiwa. psikologi
merupakan ilmu yang mempelajari dan menyelidiki aktivitas dan
tingkah laku manusia. Aktivitas dan tingkah laku tersebut merupakan
manifestasi kehidupan jiwanya. Jadi, jiwa manusia terdiri dari dua
alam, yaitu alam sadar (kesadaran) dan alam tak sadar
(ketidaksadaran). Kedua alam tidak hanya saling menyesuaikan,
alam sadar menyesuaikan terhadap dunia luar, sedangkan alam tak
sadar penyesuaiannya terhadap dunia dalam. Jadi psikologi dapat diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa yang mencakup
segala aktivitas dan tingkah laku manusia.
Selain itu, psikologi sastra adalah
ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi (Hartoko melalui
Endraswara, 2008:70). Dasar konsep dari psikologi sastra adalah munculnya jalan
buntu dalam memahami sebuah karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain
dianggap belum bisa mewadahi tuntutan psikis, oleh karena hal itu muncullah
psikologi sastra, yang berfungsi sebagai jembatan dalam interpretasi.
Psikologi sastra adalah kajian
sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan.
Pengarang akan menggunakan cipta rasa, dan karsa dalam berkarya. Pembaca
dalam menanggapi karya tidak lepas dari kejiwaan
masing-masing. Psikologi sastra juga mengenal karya sastra
sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa,
kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan
kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di
sekitar pengarang akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra
(Endraswara, 2008:96). Sebagaimana
dijelaskan Ratna (2009 : 3 50) bahwa, psikologi sastra adalah
analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi
psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh maka
akan dapat dianalisis konflik batin yang mungkin saja bertentangan dengan
teori psikologis. Dalam hubungan itulah peneliti harus menemukan
gejala yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh
pengarangnya, yaitu dengan memanfaatkan teori-teori psikologi
yang dianggap relevan.
Berdasarkan penjelasan yang telah
diutarakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan
psikologi pada karya sastra memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh,
dari tokoh-tokoh tersebut maka akan ditemukan adanya konflik batin di
dalamnya. Oleh karena itu, pendekatan psikologi sastra sangat diperlukan
untuk menganalisis dan menemukan gejala-gejala yang tidak
terlihat atau bahkan dengan sengaja disembunyikan oleh
pengarang pada karya sastra.
Penelitian psikologi sastra
memang memiliki landasan pijak yang kokoh. Karena, baik
sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari kehidupan
manusia. Bedanya kalau sastra mempelajari manusia sebagai
ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari
manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil.
1.
Tipe
dan Hukum Psikologi Sastra
Kaitannya dengan
penggunaan tipe dan hukum psikologi, maka sebuah penelitian dapat
diarahkan pada teori psikologi ke dalam karya sastra. Asumsi dari kajian
ini bahwa pengarang sering menggunakan teori psikologi tertentu dalam
penciptaan. Tipe dan hukum dari psikologi yang dapat diterapkan dalam mengkaji
tokoh dalam sebuah karya sastra adalah psikologi umum dan psikologi
khusus yang selanjutnya dicari yang paling dekat dengan karya
yang akan dikaji (Endraswara, 2008:98-99).
Secara umum psikologi dibedakan atas dua bagrag yaitu.
a)
Psikologi
Umum
Psikologi umum ialah psikologi yang
menyelidiki dan mempelajari kegiatan-kegiatan psikis manusia yang tercermin
dalam tingkah laku pada umumnya, yang dewasa, norma, dan beradab (berkultur).
b)
Psikologi
Khusus
Psikologi khusus ialah psikologi
yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan
dari aktivitas-aktivitas psikis manusia. Hal-hal khusus yang
menyimpang dari hal-hal yang umum dibicarakan dalam psikologi
khusus. psikologi khusus dapat dikaji atas: (a) psikologi perkembangan,
(b) psikologi sosial, (c) psikologi pendidikan, (d) psikologi
kepribadian, (e) psikologi psikopatologi, (f) psikologi perusahaan
dan (g) psikologi kriminal (Walgito, 2004:23-24).
Berkenaan dengan psikologi dalam
sastra yang meliputi kepribadian tokoh psikologi khusus yang digunakan
adalah psikologi kepribadian. Psikologi kepribadian
digunakan karena ilmu ini membicarakan berbagai watak dan
kepribadian seseorang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta
konflik psikologi yang dialami oleh individu tersebut.
Pendekatan psikologi adalah
pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas
tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan perilaku
yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih
jauh diperlukan psikologi. Di zaman kemajuan teknologi seperti sekarang ini
manusia mengalami konflik kejiwaan yang bemula dari sikap kejiwaan tertentu bermuara
pula ke permasalahan kejiwaan(Semi,1990:76).
2.
Manfaat
Pendekatan Psikologi Sastra
Pendekatan psikologi sastra ternyata
memiliki beberapa manfaat dan keunggulan, seperti diungkapkan Semi (1990:80),
sebagai berikut: (1) sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek
perwatakan, (2) dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada penulis
tentang masalah perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) sangat membantu dalam
menganalisis karya sastra Surrealis, abstrak, atau absurd dan akhirnya dapat membantu
pembaca memahami karya-karya semacamnya. Selanjutnya, menurut Aminuddin
(2004:55) dan Semi (1988:66), pendekatan psikologi sastra juga dapat
dimanfaatkan untuk beberapa hal. Pertama, untuk memahami aspek kejiwaan
pengarang dalam kaitannya dengan proses kreatif karya sastra yang
dihadirkannya. Kedua, untuk mengeksplorasi segi-segi pemikiran dan kejiwaan
tokoh-tokoh utama cerita, terutam menyangkut alam pikiran bawah sadar.
Teori Psikoanalisis dari Sigmund
Freud,
dia dianggap sebagai pencetus psikologi sastra, ia menciptakan teori
psikoanalisis yang membuka wacana penelitian psikologi sastra. Pendekatan
psikoanalisis sangat substil dalam hal menemukan berbagai hubungan antar
penanda tekstual (Endraswara, 2008: 199). Psikoanalisis yang diciptakan Freud
terbagi atas beberapa bagian, yaitu:
a.
Struktur
Kepribadian
Menurut Freud kepribadian memiliki tiga unsur penting, yaitu
id (aspek biologis), ego (aspek psikologis), dan superego (aspek sosiologis).
1)
Id
(das Es)
Id merupakan sistem kepribadian yang
paling primitif/dasar yang sudah beroperasi sebelum bayi berhubungan dengan
dunia luar. Id adalah sistem kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor-faktor
bawaan (Freud, dalam Koswara, 1991:32). Faktor bawaan ini adalah insting atau
naluri yang dibawa sejak lahir. Naluri yang terdapat dalam diri manuasia
dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri
kematian (death insticts). “Yang dimaksud naluri kehidupan oleh Freud adalah
naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego (the conservation of the
individual) dan pemeliharaan kelangsungan jenis (the conservation of the
species). Dengan kata lain, naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan
kepada pemeliharaan manusia sebagai individu maupun spesies. Sedangkan naluri
kematian adalah naluri yang ditujukan kepada penghancuran atau pengrusakan yang
telah ada ”(Koswara, 1991:38-39)
Freud berpendapat ( melalui Suryabrata, 1993) bahwa naluri
memiliki empat sifat, yakni:
a) Sumber insting, yang menjadi sumber
insting adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan.
b) Tujuan insting adalah untuk
menghilangkan ketidakenakan yang timbul karena adanya tegangan yang disebabkan
oleh meningkatnya energi yang tidak dapat diredakan.
c) Objek insting adalah benda atau hal
yang bisa memuaskan kebutuhan.
d) Pendorong insting adalah kekuatan
insting itu, yang bergantung pada besar kecilnya kebutuhan.
2)
Ego
(das Ich)
Ego adalah aspek psikologis dari
kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia
nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus
berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam
dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan
tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego.
Dikatakan aspek psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego
melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau
intelektual (Freud, dalam Koswara, 1991:33-34). Ego selain sebagai pengarah
juga berfungsi sebagai penyeimbang antara dorongan naluri Id dengan keadaan
lingkungan yang ada.“......, menurut Freud, ego dalam perjalanan fungsinya
tidak ditujukan untuk menghambat pemuas kebutuhan atau naluri yang berasal dari
id, melainkan bertindak sebagai perantara dari tuntunan–tuntunan naluriah organisme
di satu pihak dengan keadaan lingkungan di pihak lain. Yang dihambat oleh ego
adalah pengungkapan naluri–naluri yang tidak layak atau yang tidak bisa
diterima oleh lingkungan”(dalam Koswara,1991:34).
3)
Superego
( das über Ich)
Menurut Freud, superego adalah aspek
sosiologis dari kepribadian dan merupakan wakil dari nilai–nilai tradisional
atau cita–cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orangtua kepada
anak–anaknya, yang dimaksud dengan berbagai perintah dan larangan (melalui
Suryabrata, 1993:148). Jadi, bisa dikatankan superego terbentuk karena adanya
fitur yang paling berpengaruh seperti orang tua. Dengan terbentuknya superego
pada individu, maka kontrol terhadap sikap yang dilakukan orang tua, dalam
perkembangan selanjutnya dilakukan oleh individu sendiri. Superego pada diri
individu bisa dikatakan terdiri dari dua subsistem.
“Apapun yang mereka katakan salah dan menghukum anak karena melakukannya akan cenderung menjadi suara hatinya (conscience), (...) apa pun juga yang mereka setujui dan menghadiahi anak akan cenderung menjadi ego-ideal anak”(Freud dalam Hall dan Linzey, 1993:67).
“Apapun yang mereka katakan salah dan menghukum anak karena melakukannya akan cenderung menjadi suara hatinya (conscience), (...) apa pun juga yang mereka setujui dan menghadiahi anak akan cenderung menjadi ego-ideal anak”(Freud dalam Hall dan Linzey, 1993:67).
3.
Tokoh
dalam Pendekatan Psikologi Sastra
Konsep Psikilogi Sastra Dalam
psikologi sastra, ada beberapa tokoh psikologi terkemuka yang mengungkapkan
konsep psikologi sastra sebagai berikut :
a) Mortimer Adler Simon Adler merupakan
salah seorang murid Freud. Namun dia banyak menyangkal pendapat dari Freud
sendiri. Adler terkenal dengan sebutan inferiority complet atau perasaan rendah
diri, yang pada dasarnya adalah merupakan teori dari Al-Jahidt. Teori tersebut
memungkinkan Adler menyelami teks untuk mencari bentuk-bentuk pengganti
kekurangan dalam diri, akan tetapi dalam penerapannya Adler tidak bisa mencapai
kepuasan seperti kepuasan yang dicapai oleh Freud.
b) Carl Gustaw Jung teori Jung berbeda
dengan Freud tentang Nirsadar individu. Dia terkenal dengan teorinya tentang
Nirsadar social bahwa yang demikian tersebut merupakan bentuk dari gejala
sosial bukan individu penyair, penyair hanya mengungkapkan apa yang terjadi
dalam fenomena-fenomena sosial yang terjadi kemudian mengungkapkannya dalam
bentuk karya sastra. Jung berpendapat bahwa seseorang seniman ketika
mengungkapkan dengan berbagai bentuk pada hakekatnya ia mengambil contoh-contoh
ideal yang ada disetiap serangkaian pengambilan atau pengungkapan seperti
gambaran-gambaran tentang ketidaksadaran seorang penyair dari serangkaian
bentuk, dalam (Syi’ir).
4. Berbagai
Psikologi Sastra yang Digunakan dalam Kajian Psikologi Sastra
Adapun
berbagai psikologi yang digunakan dalam kajian psikologi antara lain :
1)
Psikologi
Pengarang
a)
Memori
psikologi pengarang
Memori adalah persoalan siapapun,
termasuk pengarang. Pengarang dengan sendirinya akan menggunakan memori untuk
berkarya. Sayangnya memori tersebut terbatas. Jarang pengarang yang dapat
mengingat seluruh hal bahkan, yang pernah didengar dan dilihat dua atau tiga
jam yang lalu, seringkali sudah tidak ingat lagi. Padahal, merupakan faktor
psikis yang amat penting bagi pengarang. Hanya melalui ingatan, karya dapat
dibangun secara intensif.
Yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengarang, menurut Wright (1991:146) adalah mencermati sastra sebagai analog, fantasi percobaan simtom penulis tertentu. Selanjutnya, peneliti dapat memahami beberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra. Fantasi adalah permainan ketaksadaran yang bermanfaat. Persoalan penelitian semacam ini perlu hati-hati, sehingga akan dapat ditemukan fantasi natural. Fantasi kejiwaan kadang-kadang tidak masuk akal, tetapi dalam sastra, sah-sah saja.
Yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengarang, menurut Wright (1991:146) adalah mencermati sastra sebagai analog, fantasi percobaan simtom penulis tertentu. Selanjutnya, peneliti dapat memahami beberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra. Fantasi adalah permainan ketaksadaran yang bermanfaat. Persoalan penelitian semacam ini perlu hati-hati, sehingga akan dapat ditemukan fantasi natural. Fantasi kejiwaan kadang-kadang tidak masuk akal, tetapi dalam sastra, sah-sah saja.
b)
Tipologi
psikis pengarang
Keadaan psikis pengarang adalah
suasana unik. Pengarang hidup dalam suasana yang lain dari yang lain. Pada
realita semacam ini, tugas peneliti psikologi sastra hendaknya lebih menukik
sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Hal personal itu dikaitkan dengan sastra
yang dihasilkan. Dari sini bisa memunculkan aneka tipe kepengarangan. menurut
Ahmad Tohari, sastrawan juga dapat dibagi ke dalam dua tipe psikologis, yaitu
sastrawan yang “kesurupan” (possessed) yang penuh emosi, menulis dengan spontan
dan yang meramal masa depan dan sastrawan “pengrajin” (maker) yang penuh
keterampilan, terlatih dan bekerja dengan serius dan penuh tanggung jawab.
c)
Psikobudaya
pengarang
Psikobudaya adalah kondisi pengarang
yang tidak lepas dari aspek budaya. Kejiwaan pengarang dituntun oleh kondisi
budayanya. Pengarang yang bebas samasekali dari faktor budaya, hampir tidak ada
pengarang tidak lepas dari budaya, pribadi dan moral yang mengitari jiwanya.
Oleh karena itu, kreativitas pengarang sebenarnya merupakan “cetak ulang” dari
jiwanya. Dari faktor budaya psikologis demikian, dapat dimengerti bahwa
pengarang tidak tunggal. Pengarang adalah pribadi yang multirupa. Jiwa
pengarang dapat diubah atau mengubah budaya. Dalam konteks ini berarti peneliti
psikologi sastra perlu memperhatikan aspek budaya disekitar pengarang.
Pengarang yang hidup dalam lingkup budaya, kelas, marginal, ketidakadilan tentu
berbeda karyanya. Budaya kota dan desa juga akan membentuk pengarang.
2)
Psikologi
Pembaca
a)
Daya
psikis keras dan lunak
Agak sulit untuk menemukan istilah
yang tepat untuk mewadahi konteks psikologi sastra yang terkait dengan resepsi
pembaca terhadap sastra. Wilayah psikologi yang berhubungan dengan pembaca
memang masih pelik. Ada yang berpendapat, wilayah ini sebenarnya studi sastra,
melainkan peneliti pembaca. Pendapat ini tampaknya juga sulit
dipertanggungjawabkan sebab bagaimanapun pembaca adalah bagian dari kutub
sastra.
Resepsi pembaca secara psikologis
pasti akan terjadi dibandingkan dengan resepsi lain. Penerimaan nilai sastra
biasanya justru berasal dari aspek psikologis. Dengan modal kejiwaan, karya
sastra akan meresap secara halus keadaan diri pembaca. Oleh sebab itu, pembaca
yang bagus tentu mampu meneladani aspek-aspek penting dalam sastra. Nilai-nilai
dalam sastra yang mampu membentuk sikap dan perilaku, akan diinternalisasikan
dalam diri pembaca.
b)
Resepsi
dan kebebasan tafsir psikologis
Resepsi adalah penerimaan.
Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Sastra ibarat
sebuah surat berharga yang dialamatkan kepada penerima pesan. Namun, dalam
sastra ada sejumlah kode-kode psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain.
Perbedaan nilai yang menuntut kebebasan tafsir. Tafsir yang beragam dan plural,
akan memperkaya pesan. Tafsir psikologis akan membangkitkan imajinasi yang
berharga. Pembaca bebas bermain imajinasi. Dari situlah pula bebas menciptakan
dunianya.
3)
Psikologi
Penokohan
Tokoh tidak kalah menarik dalam
studi psikologi sastra. Tokoh adalah figur yang dikenal dan sekaligus mengenai
tindakan psikologis. Dia adalah “eksekutor” dalam sastra.
Tokoh biasa terdapat dalam prosa dan drama. Tokoh-tokoh yang muncul dibangun untuk melakukan sebuah objek. Tokoh yang termaksud secara psikologis menjadi wakil sastrawan, sastrawan kadang-kadang menyelinapkan pesan lewat tokoh. Pembicaraan tokoh bisa dianggap campuran dari tokoh tipe yang sudah ada dalam tradisi sastra, tokoh menjadi cermin diri sastrawan. Penggarapan tokoh yang matang akan menukik dalam protret diri. Tokoh yang digarap kental, dengan perwatakan yang memukau, akan menjadi daya tarik khusus. Tokoh tersebut tergolong orang-orang yang diamati oleh pengarang, dan pengarang sendiri akan masuk secara alamiah dalam karyanya.
Tokoh biasa terdapat dalam prosa dan drama. Tokoh-tokoh yang muncul dibangun untuk melakukan sebuah objek. Tokoh yang termaksud secara psikologis menjadi wakil sastrawan, sastrawan kadang-kadang menyelinapkan pesan lewat tokoh. Pembicaraan tokoh bisa dianggap campuran dari tokoh tipe yang sudah ada dalam tradisi sastra, tokoh menjadi cermin diri sastrawan. Penggarapan tokoh yang matang akan menukik dalam protret diri. Tokoh yang digarap kental, dengan perwatakan yang memukau, akan menjadi daya tarik khusus. Tokoh tersebut tergolong orang-orang yang diamati oleh pengarang, dan pengarang sendiri akan masuk secara alamiah dalam karyanya.
4)
Psikologis
Kreativitas Cipta Sastra
Dorongan kejiwaan tidak bisa dianggap
remeh. Kejiwaan ada yang meledak-ledak, ada yang keras, murung, sensasional dan
seterusnya. Dorongan ini akan menentukan bagaimana proses kreatif sastra akan
terwujud. Proses kreatif adalah daya juang kejiwaan sastra menuju titk
tertentu. Proses kreatif akan ditentukan pula oleh etos sastrawan. Terbentuknya
karya sastra hampir seluruhnya melalui proses kreatif yang panjang, namun
panjang dan pendeknya proses ini amat relatif, tergantung kesiapan psikologis
sastrawan. Tiap karya memerlukan proses yang berbeda satu dengan yang lain.
5)
Psikoanalisis
Sastra
Salah satu cabang psikologi yang
berkaitan erat dengan telaah sastra adalah psikoanalisis. Psikoanalisis
mengemukakan teori tentang adanya dorongan bawah sadar yang mempengaruhi
tingkah laku manusia. Pelopor psikoanalisis adalah Sigmund Freud.
Prinsip-prinsip psikoanalisis adalah sebagai berikut :
a)
Lapisan
kejiwaan yang paling dalam (renda) adalah lapisan bawah sadar (Libido) atau
daya hidup, yang berbentuk dorongan seksual dan persaan-perasaan yang lain yang
mendorong kesenangan dan kegairaan.
b)
Pengalaman-pengalaman
sewaktu bayi dalam kanak-kanak, banyak mempengaruhi sikap hidup dimasa dewasa,
yang paling menonjol adalah ikatan kasih antara anak perempuan dan ayahnya dan
anak laki-laki dengan ibunya.
c)
Semua
buah pikiran, mungkin tidak berarti, masih tetap bila dihubungkan daerah bawah
sadar.
d) Konflik emosi pada dasarnya adalah
konflik antara perasaan bawah sadar dengan keinginan-keinginan dari luar.
5.
Konflik
a)
Pengertian
Konflik
Dalam suatu kehidupan sosial,
manusia tidak dapat melepaskan ekspresinya dari jalinan hubungan manusia
lain. Suatu struktur sosial yang dibentuk oleh kelompok masyarakat
tertentu akan memberlakukan satu nilai sosial tertentu pula. Adanya
perbedaan kepentingan antar individu yang menghuni suatu masyarakat
akan menimbulkan bentrokan atau konflik.
Rene Wellek dan Austin Warren
(dalam terjemahan Melani Budianta 1989:285) menyatakan bahwa
“konflik adalah sesuatu yang 'dramatik', mengacu pada pertarungan
antara dua kekuatan yang seimbang, menyiratkan adanya aksi dan aksi
balasan". Dengan demikian konflik ialah sesuatu yang tidak
menyenangkan dan menyebabkan suatu aksi dan reaksi dari hal yang
dipertentangkan tokoh dalam suatu peristiwa.
Ada tiga cara yang dapat dilakukan
untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami
unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur
kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, c) memahami unsur-unsur
kejiwaan pembaca.(wellek dan Warren dalam Ratna (2008:343)
Konflik menyaran pada
pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan
dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh itu mempunyai
kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa
itu menimpa dirinya sebagaimana diungkap oleh Meredith dan
Fitzgerald dalam Nurgiyantoro, 2007:122). Konflik dapat terjadi dan
disebabkan oleh faktor dari luar, antara perbuatan orang yang saling
bertentangan, dan dapat juga terjadi di dalam tokoh itu sendiri, yaitu
pertentangan nurani (konflik antara hak dan kewajiban; antara kemanusiaan
dan nurani alam). pertentangan itu tidak selalu berup kekuatan-kekuatan yang
aktif, melainkan juga dapat berupa keadaan yang senang, di mana
segala sesuatu yang ada sangat menghalangi tokoh cerita.
Dalam hal ini, tantangan dari luar biasanya berupa masalah keadaan sosial
dan fisik, sedangkan dari dalam dapat berupa nurani.
Konflik dapat timbul dalam situasi
di mana terdapat dua atau lebih kebutuhan, harapan, keinginan, dan
tujuan yang tidak bersesuaian saling bersaing dan menyebabkan salah
satu organisme merasa ditarik ke arah dua jurusan yang
berbeda sekaligus, dan menimbulkan perasaan yang sangat tidak enak.
Konflik ini dapat menimbulkan frustasi, karena kalau memilih salah
satu berarti yang lain tidak terpilih meskipun untuk sementara waktu saja
(Davidoff dalam terjemahan Mari Juniati, 1991:178).
Berdasarkan penjelasan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu peristiwa yang
dilatarbelakangi oleh sesuatu hal (harapan, tujuan, kemauan) yang saling
bertentangan dan menimbulkan perasaan yang sangat tidak enak. Konflik
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni faktor dari luar dan faktor
dari dalam. Segala sesuatu yang melatarbelakagi
terjadinya konflik dapat berakibat pada diri individu
tersebut, baik fisik ataupun psikis.
b. Wujud
Konflik
Konflik merupakan suatu
peristiwa yang sangat tidak menyenangkan yang disebabkan oleh berbagai hal.
KonfIik dapat terjadi di dalam diri individu ataupun di luar individu,
bergantung pada pilihan yang diambil.
Menurut Davidoff (dalam
Terjemahan Mari Juniati, 1991:178), dinyatakan bahwa konflik dapat
dibagi menjadi konflik internal dan konllik eksternal.
1)
Konflik
Internal (Internal Conflict)
Konflik internal dapat disebut
juga konflik kejiwaan. Konflik internal (dalam diri sendiri)
terjadi bila tujuan-tujuan yang saling bertentangan berada dalam diri individu
itu sendiri. Konflik internal ini merupakan konflik yang dialami
manusia dengan dirinya sendiri.
2)
Konflik
Eksternal (External Conflict)
Konflik eksternal merupakan konflik yang terjadi di
luar individu. Konflik ini terjadi bila dua atau lebih pilihan (option)
berada di luar inidividu yang mengalami konflik. Dengan kata lain,
konflik eksternal dapat terjadi antara seorang tokoh dengan
sesuatu yang ada di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan
alam atau lingkungan manusia itu sendiri.
D.
Analisis
1.
latarbelakang
pengarang dalam penciptaan cerpen.
Kecelakaan
pesawat yang sering terjadi di Indonesia menjadi latarbelakang Budi Darma
menciptakan cerpen dengan judul “Kisah Pilot Bejo”. Hal itu dibuktikan dengan
munculnya cerpen setelah banyaknya kecelakaan yang terjadi di Indonesia. Cerpen
kisah pilot bejo dimuat dalam koran Tempo edisi 29 juli 2012. Pada tahun yang
sama banyak terjadi kecelakaan pesewat di Indonesia, diantaranya adam air yang sering
sekali mengalami kecelakaan. Manajemen perusahan penerbangan yang asal-asalan
dalam pengelolaan menjadi salah satu faktor penyebabnya selain memang kondisi
fisik pesawat yang sudah usang dan keterampilan pilot yang seadanya dalam
menerbangkan pesewat. Berikut kutipan dalam cerpen yang menunjukan pernyataan
tersebut:
“Setelah mengikuti ujian yang sangat mudah
sekali, Bejo langsung diterima tanpa perlu latihan-latihan lagi, hanya diajak
sebentar ke ruang simulasi, ke hanggar, melihat-lihat pesawat, semua bukan
milik Sontholoyo Airlines, lalu diberi brosur. Ujian kesehatan memang
dilakukan, oleh seorang dokter, Gemblung namanya, yang mungkin seperti dia
sendiri, sudah bertahun-tahun menganggur. Dokter Gemblung bertanya apakah dia
pernah operasi dan dia menjawab tidak pernah, meskipun sebenarnya dia pernah
operasi usus buntu”.
Dalam kutipan diatas, disinggung bagaimana buruknya
sistem perekrutan maskapai penerbangan dalam merekrut pilotnya. Pendapat
tersebut diperkuat oleh pernyataan Wright (1991:146) yang menyatakan bahwa pengarang
dengan sendirinya akan menggunakan memori untuk berkarya.
“Pilot Bejo dengan mendadak diberi tahu untuk
terbang ke Makassar. Sebagai seorang pilot yang ingin bertanggung jawab, dia
bertanya data-data terakhir mengenai pesawat. Dengan nada serampangan bos
berkata: “Gitu saja kok ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya
terbang.”
Dalam
kutipan diatas,
bagaimana sistem maskapai memberikan perintah terbang secara asal-asalan.
Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil
jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia
tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos
lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat.
Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan kedudukan yang
disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, “tidak layak lagi untuk menjadi
pilot selama hayat masih di kandung badan,” dengan alasan “membahayakan jiwa
penumpang.”
Dalam
kutipan diatas,
disampaikan kebingungan pilot dalam menghadapi keadaan yang bimbang. Disatu
sisi pilot ingin bekerja secara profesional dengan mengutamakan keselamatan
penumpang namun takut dengan aturan maskapai yang malah membahayakan dan bisa
berakibat pada karirnya sebagai pilot.
2.
Bagian
sosiokultural yang diaungkapakan dalam cerpen
Budi
Darma mencoba menyampaikan pesan sosial lewat tokoh Paman Bablas. Digambarkan
dalam cerita Bablas adalah paman Bejo yang bekerja sebagai pedagang yang sukses
yang memiliki pandangan hidup bahwa dengan uang semua bisa diatasi. Pemikiran
praktis tersebut dalam masyarakt sekarang nampaknya sudah dianggap lumrah karena
pada kenyataan yang terjadi dimasyarakat memang seperti itu adanya “siapa yang
punya uang bisa menjadi apa saja yang diinginkan”.
Orang
ini, Paman Bablas, lebih memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil
menjadi pedagang yang tidak tanggung- tanggung.
Ketika
dengan malu-malu Bejo menemuinya, dengan lagak bijak Paman Bablas berkhotbah:
“Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah berhasil seperti aku, heh,
dapat menjadi politikus, setiap saat bisa menyogok, dan mendirikan maskapai
penerbangan sendiri, kalau perlu kelas bohong-bohongan.”
Selain
itu, Budi Darma juga mengangkat konflik
sosial mengenai pendidikan. Ijazah SMA untuk mencari kerja dianggap sampah.
Memang pada kenyataannya ijazah SMA sekarang sangat sulit untuk mencari kerja,
jikapun ada pekerjaan yang lebih mengandalkan kekuatan fisik bukan kemampuan
intelektualnya. Padahal ijzah SMA harus diperoleh dengan menempuh sekolah
selama 3 tahun minimal dan ditentukan dengan UN yang begitu meneganggan namun
setelah mendapat ijzah tidak serta merta dengan mudah mendapat pekerjaan.
“karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari
pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah”.
3.
Bagian
budaya patriarki jawa yang mempengarui tokoh utama dalam novel.
Kepercayaan
Bejo akan jaminan dari darah nenek moyangnya yang juga memiliki sejarah dalam
bidang pekerjaan yang berhubungan dengan pengakutan orang membuat Bejo merasa
aman msekipun dalam keadaan genting.
“Darah nenek moyang dan namanya pasti akan
menjamin dia, apa pun yang terjadi”.
Selain
itu, pada bagian terakhir dalam keadaan
genting Bejo dengan tegas menyatakan bahwa nama Bejo akan membawa keberuntungan
untuknya, penumpangnya dan keberuntungan untuk pesawatnya.
“Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!”
Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan”.
Selain itu,
penggunaan nama-nama jawa dalam cerita menunjukan pengaruh budaya jawa yang
melekat pada pengarang. Nama Bejo, Slamet, Untung, Sugeng, Waluyo dan Wilujeng adalah nama-nama jawa yang memiliki
arti pembawa keselamatan.
4.
Bagian
resepsi pembaca
Cerpen
“kisah Pilot Bejo” menyampaikan gejala-gejala sosial yang terjadi benar terjadi
dimasyarakat. Berawal dari maskapai penerbangan yang ternyata aset perusahannya
bukan milik sendiri,
banyaknya kerusakan pada pesawat yang dibiarkan dan sampai harus selalu
memberikan laporan baik pada menara pengawas meski keadaan buruk. Hal
itu, hanya untuk menjaga nama baik
maskapai yang dibawa sang pilot. Selain itu, susahnya mencari pekerjaan dengan
hanya modal ijazah SMA juga disampaikan dalam cerpen ini. Hal tersebut memang
benar adanya bahwa pada masa sekarang ijzah SMA susah sekali untuk mencari
kerja. Sampai pada sistem perekrutan pilot dari maskapai yang asal-asalan,
pemberian jadwal penerbangan yang asal-asalan. Semua yang ditampilkan dalam
cerita benar-benar merupakan gambaran dalam kehidupan nyata.
5.
Hubungan
cerpen dengan nilai pendidikan dalam pembelajaran bahasa indonesia.
Penanaman
karakter mandiri seperti yang dilakukan Bejo ketika mencari pekerjaan tanpa
meminta bantuan pamannya dapat diterapkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.
Karakter mandiri dapat membantu siswa dalam mengembangkan daya saing pada dunia
kerja nantinya.
6.
Analisis Psikologi Tokoh Bejo
a. Karakteristik
Bejo
memiliki wajah yang kocak, selalu bersikap tenang, tidak mudah panik, tidak
terlalu pandai dan mandiri.
b. Analisis dengan pendekatan
psikoanalisis yang diciptakan Freud.
1)
Id
Tokoh Bejo memilki garis keturun
sebagai pekerja dibidang pengangkut orang. Pemberian nama yang mengandung makna
keselamatan membuat Bejo selalu tenang dalam menghadapi segala sesuatu. Hal
tersebut, senada dengan pernyataan Freud (dalam Koswara, 1991:32) Id adalah
sistem kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor-faktor bawaan (Freud, dalam
Koswara, 1991:32). Berikut adalah kutipan yang menunjukan adanya unsur Id:
“Darah
nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang terjadi”.
2)
Ego
Keinginan Bejo untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus SMA adalah
ego yang membuat Bejo malakukan usaha untuk memperoleh pekerjaan. Hal tersebut, senada dengan pendapat yang menyatakan ego adalah aspek psikologis dari
kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia
nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus
berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam
dirinya. Berikut kutipan yang menunjukan ego dalam cerita:
“Perjuangan
Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah lulus SMA dia
menganggur, karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari pekerjaan lulusan SMA
hanyalah diperlakukan sebagai sampah”.
3)
Superego
Keinginan Bejo untuk berusaha mencari pekerjaan sendiri tanpa
meminta bantuan paman Bablas setelah lulus akademi penerbangan merupakan kepribadian
yang mencerminkan nilai budaya tradisional yaitu tahu diri digambarkan dalam
cerita Bejo memiliki rasa “pekewoh”
atau sungkan terhadap pamannya yang telah membiayainya diakademi sampai lulus.
Senada dengan hal itu, Freud menyatakan bahwa superego adalah aspek sosiologis dari
kepribadian dan merupakan wakil dari nilai–nilai tradisional. Berikut kutipan
yang menunjukan superego dalam cerita:
“Andaikata
dia minta tolong Paman Bablas lagi, kemungkinan besar dia akan diterima oleh
maskapai besar. Namun dia tahu diri, apalagi dia percaya, darah nenek moyang
serta namanya pasti akan terus melesatkan panah ke atas”.
c. Konfilk dalam cerita.
1)
Konflik
Internal
“Demikianlah,
dengan tangan gemetar dan doa-doa pendek, Pilot Bejo mulai menerbangkan
pesawatnya”.
Kutipan diatas,
menunjukan adanya konflik internal yang terjadi pada Bejo. Sebelum menerbangkan
pesawat sebenarnya bejo sempat ragu dengan kondisi pesawat namun akhirnya dia
memberanikan diri untuk melakukan penerbangan pertama dengan maskapai baru
yaitu SA (Sontholoyo Airlines).
2)
Konflik
Eksternal
“Dia
tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh lebih panjang,
namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga
tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk melewati jarak yang
sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat”.
Kutipan
diatas, menunjukan adanya konflik
eksternal yang terjadi antara Bejo dan Bosnya. Bejo sebenarnya harus mengambil
rute yang lebih aman untuk menghindari cuaca yang buruk namun Bejo takut dengan
perintah Bosnya yang melarang pilot untuk melewati jarak yang telah ditentukan
atau resikonya akan dipecat.
Konflik yang dialami tokoh utama
dalam cerpen “Kisah Pilot Bejo” merupakan cerminan sistem pengelolaan maskapai
penerbangan yang asal-asalan. Selain itu, dengan alasan menjaga nama baik
maskapai pilot sering memberikan informasi palsu kepada menara pengawas karena
takut dipecat dengan tidak hormat meskipun harus menerbangkan pesawat dengan
membahayakan jiwa penumpangnya.
Usaha yang dilakukan tokoh utama
dalam menyelesaikan masalahnya sangatlah minim dan kurang atau dapat dikatakan
hampir tidak ada. Bejo hanya mengikuti saja aturan yang sebenarnya dia tahu
bahwa aturan tersebut salah. Selain itu, Bejo juga terbiasa dengan pengelolaan
jadwal yang asal-asalan sampai pada akhirnya dia terbang ke Makasar secara mendadak
dan harus menempuh rute yang berbahaya dia lakukan karena.
DAFTAR PUSTAKA
Wani Piro ___ hahahaah ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar