Rabu, 21 Mei 2014

kisah pilot bejo



TUGAS KELOMPOK
KAJIAN SASTRA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA CERPEN KISAH PILOT BEJO KARYA BUDI DARMA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Sastra
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Retno Wardani, M. Pd.


Oleh:

Abdurrakhman Hadiyanto                  S841402001
Sri Amar S. Luguy                              S841402034
Yohanes Andri S                                S841402041
Zully Ismawati                                    S841402042



PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014




A.      Biografi Pengarang
Nama : Prof. Dr. Budi Darma
Lahir : Rembang, Jawa Tengah 25 April 1937
Prestasi :
  1. Hadiah Pertama Sayembara Mengarang Naskah Roman Dewan Kesenian Jakarta atas novelnya Olenka (1980)
  2. Penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta atas novelnya, Olenka, sebagai novel terbaik (1983)
  3. Penghargaan Sea Write Award dari pemerintah Thailand atas karyanya yang berjudul Orang-Orang Bloomington (1984)
  4. Penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia (1993)
  5. Penghargaan dari Kompas atas cerpennya, “Derabat”, sebagai cerpen terbaik (1999).
  6. Cerpen Pilihan Kompas 2001 melalui cerpennya Mata yang Indah,
7.      Hadiah Sastra ASEAN,
8.      Satyalencana Kebudayaan dari Presiden RI,
  1. Dan masih banyak lainnya.
Ia anak keempat dari enam bersaudara yang semuanya laki-laki. Kedua orang tuanya berasal dari Rembang. Ayahnya bernama Munandar Darmowidagdo dan bekerja sebagai pegawai kantor pos. Ibunya bernama Sri Kunmaryati. Karena pekerjaan ayahnya,  Budi darma sering berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya, antara lain di bandung, Yogyakarta, dan Semarang. Budi Darma menikah pada tanggal 14 Maret 1968 dengan Sitaresmi, S.H., yang lahir 7 September 1938. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Diana (lahir di Banyuwangi, 15 Mei 1969), Guritno (lahir di Banyuwangi, 4 Februari 1972), dan Hannato Widodo (lahir di Surabaya, 3 Juni 1974).







Riwayat pendidikan:
No
Jenjang
 Lokasi
Tahun Lulus
1.
SD
Kudus, Jawa Tengah
1950
2.
SMP
Salatiga, Jawa Tengah
1953
3.
SMA
Semarang, Jawa Tengah
1956
4.
S1
Universitas Gajah Mada, Jogjakarta Jurusan Sastra Bahasa Inggris
1963
5.
Pelatihan Internasional
International Writing Program Di Universitas Iowa, Amerika Serikat
1967
6.
Beasiswa Internasional
East West Centre Jurusan Ilmu Budaya Dasar (Basic Humanities) Di Universitas Hawai, Honolulu, Amerika Serikat
1971
7.
S2
Universitas Indiana, Bloomington, Indiana, Amerika Serikat
1975
8.
S3
Universitas Indiana, Bloomington, Indiana, Amerika Serikat
1980

            Sumbangan Budi Darma kepada kehidupan sastra sangat besar. Dalam kerangka kerja sama Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Budi Darma membimbing cerpenis dan esais muda berbakat dari Brunai Darussalam, Indonesia, dan Malaysia dalam wadah Program Penulisan Mastera (1998—1999).
            Hasil karya Budi Darma berbentuk cerita pendek, novel, esai, dan puisi yang tersebar di berbagai media massa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Budi Darma dianggap memelopori penggunaan teknik kolase, yaitu teknik penempelan potongan iklan bioskop dan tiket pertunjukan dalam karya-karyanya, seperti Orang-Orang Bloomington dan Olenka. Berikut ini adalah karya Budi Darma.
1. Orang-Orang Bloomington (kumpulan cerpen, 1950)
2. Ny. Talis (novel, 1983)
3. Olenka (novel, 1997)
4. Rafilus (novel, 1988)
5. Sejumlah Esai Sastra (kumpulan esai, 1984)
6. Solilokui (kumpulan esai, 1983)
7. Harmonium (kumpulan esai, 1996)
8. Derabat (cerpen, 1999)
9. The Legacy karya Intsi V. Himanyunga (terjemahan, 1996)
10. Sejarah 10 November 1945 (1987)
11. Culture in Surabaya (1992)
12. Modern Literature of ASEAN (2000)
13. Kumpulan Esai Sastra ASEAN (Asean Committee on Culture and Information)

B.       Sinopsis
Kisah Pilot Bejo
Budi Darma

Kisah seorang pilot kocak yang memiliki sejarah keluarga yang bekerja pada bidang mengangkut orang. Leluhurnya yang menjadi kusir, lalu keturunannya menjadi masinis, dan setelah darah nenek moyang mengalir kepada dia, dia menjadi pilot. Nama Bejo, diberikan dengan tujuan selalu mendapat nasib yang beruntung karena bejo berarti “selalu beruntung,” ayahnya bernama Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama Sugeng, Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah.
Pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai penerbangan AA (Amburadul Airlines), yaitu perusahaan yang dalam banyak hal bekerja asal-asalan yang hampir bermasalah tiap tahunnya. Perjuangan Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah lulus SMA dia menganggur, lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah saat itu. Untunglah ayahnya mau menolong lewat pamanya yang bernama Bablas, ia lebih memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi pedagang yang tidak tanggung- tanggung.
Paman Bablas pernah berkhotbah: “Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah berhasil seperti aku, heh, dapat menjadi politikus, setiap saat bisa menyogok, dan mendirikan maskapai penerbangan sendiri, kalau perlu kelas bohong-bohongan.” Paman Bablas menanggung semua biaya pendidikan Bejo selama di Akademi Pilot sampai lulus. Setelah lulus bejo bekerja di SA (Sontholoyo Airlines) yang ternyata semua aset perusahan bukan milik sendiri. Ujian kesehatanpun dia lulus meski pernah operasi usus buntu namun dokter yang memeriksa menyatakan lulus, dokter Gemblung namanya.
Pada hari pertama akan terbang, dia menunggu jemputan dari kantor. Dia tahu, beberapa hari sebelum terbang dia pasti sudah diberi tahu jadwal penerbangannya, tapi hari itu dia tidak tahu akan terbang ke mana. Akhirnya, memang jemputan datang. Sopir ngebut cepat sekali, katanya dia baru tahu dari bos, bahwa hari itu sekonyong-konyong dia harus menjemput Pilot Bejo. Begitu tiba di kantor ia mendadak diberi tahu untuk terbang ke Makassar dan dia bertanya data-data terakhir mengenai pesawat kepada bosnya. Dengan nada serampangan bos berkata: “Gitu saja kok ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya terbang.” Sebelum masuk pesawat dia sempat melihat sepintas semua ban pesawat sudah gundul, cat di badan pesawat sudah banyak mengelupas, dan setelah penumpang masuk, dia sempat pula mendengar seorang penumpang memaki-maki karena setiap kali bersandar, kursinya selalu rebah ke belakang.
Berjalan hari demi hari ia tidak berkeberatan lagi untuk dijemput terlambat lalu dijemput ngebut, tidak perlu bertanya ini itu. Dia percaya darah nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang terjadi. Suatu ketika Pilot Bejo dalam keadaan payah karena jadwal sering berubah-ubah dengan mendadak, gaji yang tak naik-naik, beberapa kali mendapat teguran keras karena beberapa kali melewati jalur yang lebih jauh untuk menghindari badai, dan entah karena apa lagi. Demikianlah, dalam keadaan lelah, dengan mendadak dia mendapat perintah untuk terbang ke Nusa Tenggara Timur. Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa penumpang berteriak-teriak ketakutan. Bejo tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat. Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan kedudukan yang disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, “tidak layak lagi untuk menjadi pilot selama hayat masih di kandung badan,” dengan alasan “membahayakan jiwa penumpang.”
Dalam keadaan gawat pesawat harus bermanuver mendadak, kadang-kadang harus melesat ke atas dengan mendadak pula, dan harus gesit membelok ke sana kemari untuk menghindari halilintar. Tapi dia tahu, bos akan marah karena dia akan dituduh memboros-boroskan bensin. Dia juga tahu, dalam keadaan apa pun seburuk apa pun, dia tidak diperkenankan untuk melaporkan kepada tower di mana pun mengenai keadaan yang sebenarnya. Kalau ada pertanyaan dari tower mana pun, dia tahu, dia harus menjawab semuanya berjalan dengan amat baik. Tapi, dalam keadaan telanjur terjebak semacam ini, pikirannya kabur, seolah tidak ingat apa-apa lagi, kecuali keadaan pesawat. Bisa saja dia mendadak melesat ke atas, menukik dengan kecepatan kilat ke bawah, lalu belok kanan belok kiri untuk menghindari kilat-kilat yang amat berbahaya, namun dia tahu, pesawat pasti akan rontok.
Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tapi berteriak-teriak keras: “Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!” Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan.
Kompas, edisi 29 juli 2012.

C.      Pendekatan psikologi sastra
Walgito (2004:l) menjelaskan  bahwa, ditinjau dari segi bahasa,  psikologi berasal dari kata psyche yang berati Jiwa'dan  logos berarti 'ilmu' atau 'ilmu pengetahuan',  karena  itu psikologis sering diartikan dengan  ilrnu pengetahuan  tentang jiwa.  psikologi merupakan ilmu yang  mempelajari dan menyelidiki  aktivitas  dan tingkah laku manusia. Aktivitas dan tingkah  laku tersebut merupakan manifestasi kehidupan jiwanya. Jadi, jiwa  manusia  terdiri dari dua alam, yaitu alam sadar (kesadaran)  dan alam tak sadar  (ketidaksadaran).  Kedua alam tidak hanya saling  menyesuaikan,  alam sadar  menyesuaikan terhadap dunia  luar, sedangkan alam tak sadar penyesuaiannya  terhadap dunia dalam. Jadi psikologi dapat diartikan sebagai  ilmu yang  mempelajari gejala jiwa yang mencakup  segala aktivitas dan tingkah laku manusia.
Selain itu, psikologi sastra adalah ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi (Hartoko melalui Endraswara, 2008:70). Dasar konsep dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi tuntutan psikis, oleh karena hal itu muncullah psikologi sastra, yang berfungsi sebagai jembatan dalam interpretasi.
Psikologi sastra adalah  kajian sastra yang memandang  karya sebagai aktivitas kejiwaan.  Pengarang  akan menggunakan cipta rasa, dan karsa dalam berkarya. Pembaca dalam  menanggapi  karya tidak lepas dari kejiwaan masing-masing.  Psikologi sastra juga  mengenal  karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap  gejala jiwa, kemudian  diolah ke dalam teks dan dilengkapi  dengan  kejiwaannya. Proyeksi pengalaman  sendiri dan  pengalaman hidup di sekitar pengarang akan terproyeksi  secara imajiner ke dalam teks sastra (Endraswara,  2008:96).  Sebagaimana  dijelaskan  Ratna (2009 : 3 50) bahwa, psikologi sastra  adalah  analisis teks dengan  mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis.  Dengan memusatkan perhatian  pada tokoh-tokoh  maka akan dapat dianalisis konflik batin yang mungkin saja  bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hubungan  itulah peneliti harus menemukan  gejala yang tersembunyi atau sengaja  disembunyikan oleh pengarangnya,  yaitu dengan  memanfaatkan teori-teori  psikologi yang dianggap  relevan.
Berdasarkan penjelasan yang telah diutarakan di atas, dapat  disimpulkan  bahwa pendekatan  psikologi pada karya sastra memusatkan  perhatian  pada tokoh-tokoh, dari tokoh-tokoh  tersebut maka akan ditemukan adanya konflik batin di dalamnya. Oleh karena itu, pendekatan psikologi sastra sangat diperlukan  untuk menganalisis  dan menemukan  gejala-gejala  yang tidak terlihat atau  bahkan dengan sengaja disembunyikan  oleh pengarang  pada karya sastra.
Penelitian psikologi sastra  memang  memiliki  landasan pijak yang kokoh. Karena, baik sastra  maupun  psikologi sama-sama mempelajari kehidupan manusia.  Bedanya kalau sastra mempelajari  manusia sebagai ciptaan  imajinasi pengarang,  sedangkan  psikologi mempelajari manusia sebagai ciptaan Illahi secara  riil.

1.        Tipe dan Hukum Psikologi Sastra
Kaitannya dengan  penggunaan  tipe dan hukum  psikologi, maka sebuah penelitian dapat diarahkan pada teori psikologi ke dalam karya sastra. Asumsi  dari kajian ini bahwa pengarang sering menggunakan teori psikologi tertentu  dalam penciptaan. Tipe dan hukum dari psikologi yang dapat diterapkan dalam mengkaji tokoh dalam sebuah  karya sastra adalah psikologi umum dan psikologi khusus yang selanjutnya  dicari yang  paling dekat dengan  karya yang akan  dikaji (Endraswara, 2008:98-99).
Secara umum  psikologi dibedakan atas dua bagrag yaitu.
a)      Psikologi  Umum
Psikologi umum ialah psikologi yang menyelidiki dan mempelajari kegiatan-kegiatan psikis manusia yang tercermin dalam tingkah laku pada umumnya, yang dewasa, norma, dan beradab (berkultur).


b)      Psikologi  Khusus
Psikologi khusus ialah psikologi yang menyelidiki  dan mempelajari  segi-segi  kekhususan  dari aktivitas-aktivitas psikis manusia. Hal-hal  khusus yang  menyimpang dari hal-hal yang  umum dibicarakan dalam  psikologi khusus. psikologi  khusus dapat dikaji atas: (a) psikologi perkembangan, (b) psikologi sosial, (c) psikologi pendidikan,  (d) psikologi kepribadian, (e) psikologi psikopatologi, (f) psikologi  perusahaan  dan (g) psikologi  kriminal (Walgito, 2004:23-24).
Berkenaan dengan psikologi dalam sastra yang meliputi kepribadian tokoh psikologi khusus yang digunakan adalah  psikologi kepribadian. Psikologi  kepribadian  digunakan  karena ilmu ini membicarakan berbagai watak  dan kepribadian seseorang  dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta konflik  psikologi  yang dialami oleh individu tersebut.
Pendekatan psikologi adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan perilaku yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh diperlukan psikologi. Di zaman kemajuan teknologi seperti sekarang ini manusia mengalami konflik kejiwaan yang bemula dari sikap kejiwaan tertentu bermuara pula ke permasalahan kejiwaan(Semi,1990:76).

2.        Manfaat Pendekatan Psikologi Sastra
Pendekatan psikologi sastra ternyata memiliki beberapa manfaat dan keunggulan, seperti diungkapkan Semi (1990:80), sebagai berikut: (1) sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2) dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada penulis tentang masalah perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) sangat membantu dalam menganalisis karya sastra Surrealis, abstrak, atau absurd dan akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya-karya semacamnya. Selanjutnya, menurut Aminuddin (2004:55) dan Semi (1988:66), pendekatan psikologi sastra juga dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal. Pertama, untuk memahami aspek kejiwaan pengarang dalam kaitannya dengan proses kreatif karya sastra yang dihadirkannya. Kedua, untuk mengeksplorasi segi-segi pemikiran dan kejiwaan tokoh-tokoh utama cerita, terutam menyangkut alam pikiran bawah sadar.

Teori Psikoanalisis dari Sigmund Freud, dia dianggap sebagai pencetus psikologi sastra, ia menciptakan teori psikoanalisis yang membuka wacana penelitian psikologi sastra. Pendekatan psikoanalisis sangat substil dalam hal menemukan berbagai hubungan antar penanda tekstual (Endraswara, 2008: 199). Psikoanalisis yang diciptakan Freud terbagi atas beberapa bagian, yaitu:
a.         Struktur Kepribadian
Menurut Freud kepribadian memiliki tiga unsur penting, yaitu id (aspek biologis), ego (aspek psikologis), dan superego (aspek sosiologis).
1)      Id (das Es)
Id merupakan sistem kepribadian yang paling primitif/dasar yang sudah beroperasi sebelum bayi berhubungan dengan dunia luar. Id adalah sistem kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor-faktor bawaan (Freud, dalam Koswara, 1991:32). Faktor bawaan ini adalah insting atau naluri yang dibawa sejak lahir. Naluri yang terdapat dalam diri manuasia dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri kematian (death insticts). “Yang dimaksud naluri kehidupan oleh Freud adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego (the conservation of the individual) dan pemeliharaan kelangsungan jenis (the conservation of the species). Dengan kata lain, naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan manusia sebagai individu maupun spesies. Sedangkan naluri kematian adalah naluri yang ditujukan kepada penghancuran atau pengrusakan yang telah ada ”(Koswara, 1991:38-39)
Freud berpendapat ( melalui Suryabrata, 1993) bahwa naluri memiliki empat sifat, yakni:
a)      Sumber insting, yang menjadi sumber insting adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan.
b)      Tujuan insting adalah untuk menghilangkan ketidakenakan yang timbul karena adanya tegangan yang disebabkan oleh meningkatnya energi yang tidak dapat diredakan.
c)      Objek insting adalah benda atau hal yang bisa memuaskan kebutuhan.
d)     Pendorong insting adalah kekuatan insting itu, yang bergantung pada besar kecilnya kebutuhan.

2)      Ego (das Ich)
Ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego. Dikatakan aspek psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau intelektual (Freud, dalam Koswara, 1991:33-34). Ego selain sebagai pengarah juga berfungsi sebagai penyeimbang antara dorongan naluri Id dengan keadaan lingkungan yang ada.“......, menurut Freud, ego dalam perjalanan fungsinya tidak ditujukan untuk menghambat pemuas kebutuhan atau naluri yang berasal dari id, melainkan bertindak sebagai perantara dari tuntunan–tuntunan naluriah organisme di satu pihak dengan keadaan lingkungan di pihak lain. Yang dihambat oleh ego adalah pengungkapan naluri–naluri yang tidak layak atau yang tidak bisa diterima oleh lingkungan”(dalam Koswara,1991:34).

3)        Superego ( das über Ich)
Menurut Freud, superego adalah aspek sosiologis dari kepribadian dan merupakan wakil dari nilai–nilai tradisional atau cita–cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orangtua kepada anak–anaknya, yang dimaksud dengan berbagai perintah dan larangan (melalui Suryabrata, 1993:148). Jadi, bisa dikatankan superego terbentuk karena adanya fitur yang paling berpengaruh seperti orang tua. Dengan terbentuknya superego pada individu, maka kontrol terhadap sikap yang dilakukan orang tua, dalam perkembangan selanjutnya dilakukan oleh individu sendiri. Superego pada diri individu bisa dikatakan terdiri dari dua subsistem.
“Apapun yang mereka katakan salah dan menghukum anak karena melakukannya akan cenderung menjadi suara hatinya (conscience), (...) apa pun juga yang mereka setujui dan menghadiahi anak akan cenderung menjadi ego-ideal anak”(Freud dalam Hall dan Linzey, 1993:67).

3.        Tokoh dalam Pendekatan Psikologi Sastra
Konsep Psikilogi Sastra Dalam psikologi sastra, ada beberapa tokoh psikologi terkemuka yang mengungkapkan konsep psikologi sastra sebagai berikut :
a)    Mortimer Adler Simon Adler merupakan salah seorang murid Freud. Namun dia banyak menyangkal pendapat dari Freud sendiri. Adler terkenal dengan sebutan inferiority complet atau perasaan rendah diri, yang pada dasarnya adalah merupakan teori dari Al-Jahidt. Teori tersebut memungkinkan Adler menyelami teks untuk mencari bentuk-bentuk pengganti kekurangan dalam diri, akan tetapi dalam penerapannya Adler tidak bisa mencapai kepuasan seperti kepuasan yang dicapai oleh Freud.
b)   Carl Gustaw Jung teori Jung berbeda dengan Freud tentang Nirsadar individu. Dia terkenal dengan teorinya tentang Nirsadar social bahwa yang demikian tersebut merupakan bentuk dari gejala sosial bukan individu penyair, penyair hanya mengungkapkan apa yang terjadi dalam fenomena-fenomena sosial yang terjadi kemudian mengungkapkannya dalam bentuk karya sastra. Jung berpendapat bahwa seseorang seniman ketika mengungkapkan dengan berbagai bentuk pada hakekatnya ia mengambil contoh-contoh ideal yang ada disetiap serangkaian pengambilan atau pengungkapan seperti gambaran-gambaran tentang ketidaksadaran seorang penyair dari serangkaian bentuk, dalam (Syi’ir).

4. Berbagai Psikologi Sastra yang Digunakan dalam Kajian Psikologi Sastra
Adapun berbagai psikologi yang digunakan dalam kajian psikologi antara lain :
1)      Psikologi Pengarang
a)      Memori psikologi pengarang
Memori adalah persoalan siapapun, termasuk pengarang. Pengarang dengan sendirinya akan menggunakan memori untuk berkarya. Sayangnya memori tersebut terbatas. Jarang pengarang yang dapat mengingat seluruh hal bahkan, yang pernah didengar dan dilihat dua atau tiga jam yang lalu, seringkali sudah tidak ingat lagi. Padahal, merupakan faktor psikis yang amat penting bagi pengarang. Hanya melalui ingatan, karya dapat dibangun secara intensif.
Yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengarang, menurut Wright (1991:146) adalah mencermati sastra sebagai analog, fantasi percobaan simtom penulis tertentu. Selanjutnya, peneliti dapat memahami beberapa jauh fantasi bergulir dalam sastra. Fantasi adalah permainan ketaksadaran yang bermanfaat. Persoalan penelitian semacam ini perlu hati-hati, sehingga akan dapat ditemukan fantasi natural. Fantasi kejiwaan kadang-kadang tidak masuk akal, tetapi dalam sastra, sah-sah saja.
b)      Tipologi psikis pengarang
Keadaan psikis pengarang adalah suasana unik. Pengarang hidup dalam suasana yang lain dari yang lain. Pada realita semacam ini, tugas peneliti psikologi sastra hendaknya lebih menukik sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Hal personal itu dikaitkan dengan sastra yang dihasilkan. Dari sini bisa memunculkan aneka tipe kepengarangan. menurut Ahmad Tohari, sastrawan juga dapat dibagi ke dalam dua tipe psikologis, yaitu sastrawan yang “kesurupan” (possessed) yang penuh emosi, menulis dengan spontan dan yang meramal masa depan dan sastrawan “pengrajin” (maker) yang penuh keterampilan, terlatih dan bekerja dengan serius dan penuh tanggung jawab.
c)      Psikobudaya pengarang
Psikobudaya adalah kondisi pengarang yang tidak lepas dari aspek budaya. Kejiwaan pengarang dituntun oleh kondisi budayanya. Pengarang yang bebas samasekali dari faktor budaya, hampir tidak ada pengarang tidak lepas dari budaya, pribadi dan moral yang mengitari jiwanya. Oleh karena itu, kreativitas pengarang sebenarnya merupakan “cetak ulang” dari jiwanya. Dari faktor budaya psikologis demikian, dapat dimengerti bahwa pengarang tidak tunggal. Pengarang adalah pribadi yang multirupa. Jiwa pengarang dapat diubah atau mengubah budaya. Dalam konteks ini berarti peneliti psikologi sastra perlu memperhatikan aspek budaya disekitar pengarang. Pengarang yang hidup dalam lingkup budaya, kelas, marginal, ketidakadilan tentu berbeda karyanya. Budaya kota dan desa juga akan membentuk pengarang.

2)      Psikologi Pembaca
a)      Daya psikis keras dan lunak
Agak sulit untuk menemukan istilah yang tepat untuk mewadahi konteks psikologi sastra yang terkait dengan resepsi pembaca terhadap sastra. Wilayah psikologi yang berhubungan dengan pembaca memang masih pelik. Ada yang berpendapat, wilayah ini sebenarnya studi sastra, melainkan peneliti pembaca. Pendapat ini tampaknya juga sulit dipertanggungjawabkan sebab bagaimanapun pembaca adalah bagian dari kutub sastra.
Resepsi pembaca secara psikologis pasti akan terjadi dibandingkan dengan resepsi lain. Penerimaan nilai sastra biasanya justru berasal dari aspek psikologis. Dengan modal kejiwaan, karya sastra akan meresap secara halus keadaan diri pembaca. Oleh sebab itu, pembaca yang bagus tentu mampu meneladani aspek-aspek penting dalam sastra. Nilai-nilai dalam sastra yang mampu membentuk sikap dan perilaku, akan diinternalisasikan dalam diri pembaca.
b)      Resepsi dan kebebasan tafsir psikologis
Resepsi adalah penerimaan. Penerimaan sastra oleh pembaca bisa berbeda-beda tafsirnya. Sastra ibarat sebuah surat berharga yang dialamatkan kepada penerima pesan. Namun, dalam sastra ada sejumlah kode-kode psikologis yang bisa memunculkan persepsi lain. Perbedaan nilai yang menuntut kebebasan tafsir. Tafsir yang beragam dan plural, akan memperkaya pesan. Tafsir psikologis akan membangkitkan imajinasi yang berharga. Pembaca bebas bermain imajinasi. Dari situlah pula bebas menciptakan dunianya.

3)      Psikologi Penokohan
Tokoh tidak kalah menarik dalam studi psikologi sastra. Tokoh adalah figur yang dikenal dan sekaligus mengenai tindakan psikologis. Dia adalah “eksekutor” dalam sastra.
Tokoh biasa terdapat dalam prosa dan drama. Tokoh-tokoh yang muncul dibangun untuk melakukan sebuah objek. Tokoh yang termaksud secara psikologis menjadi wakil sastrawan, sastrawan kadang-kadang menyelinapkan pesan lewat tokoh. Pembicaraan tokoh bisa dianggap campuran dari tokoh tipe yang sudah ada dalam tradisi sastra, tokoh menjadi cermin diri sastrawan. Penggarapan tokoh yang matang akan menukik dalam protret diri. Tokoh yang digarap kental, dengan perwatakan yang memukau, akan menjadi daya tarik khusus. Tokoh tersebut tergolong orang-orang yang diamati oleh pengarang, dan pengarang sendiri akan masuk secara alamiah dalam karyanya.

4)      Psikologis Kreativitas Cipta Sastra
Dorongan kejiwaan tidak bisa dianggap remeh. Kejiwaan ada yang meledak-ledak, ada yang keras, murung, sensasional dan seterusnya. Dorongan ini akan menentukan bagaimana proses kreatif sastra akan terwujud. Proses kreatif adalah daya juang kejiwaan sastra menuju titk tertentu. Proses kreatif akan ditentukan pula oleh etos sastrawan. Terbentuknya karya sastra hampir seluruhnya melalui proses kreatif yang panjang, namun panjang dan pendeknya proses ini amat relatif, tergantung kesiapan psikologis sastrawan. Tiap karya memerlukan proses yang berbeda satu dengan yang lain.

5)      Psikoanalisis Sastra
Salah satu cabang psikologi yang berkaitan erat dengan telaah sastra adalah psikoanalisis. Psikoanalisis mengemukakan teori tentang adanya dorongan bawah sadar yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Pelopor psikoanalisis adalah Sigmund Freud.
Prinsip-prinsip psikoanalisis adalah sebagai berikut :
a)        Lapisan kejiwaan yang paling dalam (renda) adalah lapisan bawah sadar (Libido) atau daya hidup, yang berbentuk dorongan seksual dan persaan-perasaan yang lain yang mendorong kesenangan dan kegairaan.
b)        Pengalaman-pengalaman sewaktu bayi dalam kanak-kanak, banyak mempengaruhi sikap hidup dimasa dewasa, yang paling menonjol adalah ikatan kasih antara anak perempuan dan ayahnya dan anak laki-laki dengan ibunya.
c)        Semua buah pikiran, mungkin tidak berarti, masih tetap bila dihubungkan daerah bawah sadar.
d)       Konflik emosi pada dasarnya adalah konflik antara perasaan bawah sadar dengan keinginan-keinginan dari luar.

5.        Konflik
a)        Pengertian Konflik
Dalam suatu kehidupan  sosial,  manusia tidak dapat melepaskan ekspresinya dari jalinan  hubungan manusia lain. Suatu struktur sosial yang dibentuk oleh kelompok  masyarakat  tertentu akan  memberlakukan satu nilai sosial tertentu pula. Adanya perbedaan  kepentingan antar individu yang menghuni suatu masyarakat  akan menimbulkan  bentrokan atau konflik.
Rene Wellek dan Austin Warren  (dalam terjemahan Melani Budianta  1989:285) menyatakan  bahwa “konflik adalah  sesuatu yang 'dramatik', mengacu  pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang,  menyiratkan adanya  aksi dan aksi balasan".  Dengan demikian konflik ialah sesuatu yang tidak menyenangkan  dan menyebabkan  suatu aksi dan reaksi dari hal yang dipertentangkan  tokoh dalam suatu peristiwa.
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.(wellek dan Warren dalam Ratna (2008:343)
Konflik menyaran  pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi  dan dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh  itu mempunyai kebebasan untuk memilih,  ia (mereka) tidak akan  memilih peristiwa  itu menimpa dirinya  sebagaimana  diungkap  oleh Meredith dan Fitzgerald  dalam  Nurgiyantoro, 2007:122). Konflik dapat terjadi dan disebabkan oleh faktor dari luar, antara perbuatan  orang yang saling bertentangan, dan dapat juga terjadi di dalam tokoh  itu sendiri, yaitu pertentangan  nurani (konflik antara hak dan kewajiban; antara kemanusiaan dan nurani alam). pertentangan itu tidak selalu berup kekuatan-kekuatan yang aktif, melainkan juga  dapat berupa keadaan  yang senang, di mana segala sesuatu  yang ada sangat  menghalangi  tokoh cerita. Dalam hal ini, tantangan dari luar biasanya berupa masalah keadaan  sosial dan fisik, sedangkan dari dalam  dapat berupa nurani.
Konflik dapat timbul dalam situasi di mana terdapat  dua atau lebih kebutuhan,  harapan, keinginan, dan tujuan yang tidak bersesuaian saling bersaing dan  menyebabkan  salah satu organisme merasa  ditarik ke arah dua jurusan  yang  berbeda sekaligus,  dan menimbulkan perasaan yang sangat  tidak enak.  Konflik ini dapat  menimbulkan frustasi,  karena kalau memilih salah satu berarti yang lain tidak terpilih meskipun untuk sementara waktu saja (Davidoff dalam terjemahan  Mari Juniati, 1991:178).
Berdasarkan  penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan  bahwa konflik adalah  suatu peristiwa yang dilatarbelakangi oleh sesuatu hal (harapan, tujuan,  kemauan) yang saling bertentangan  dan menimbulkan perasaan yang sangat tidak enak. Konflik dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni faktor  dari luar dan faktor dari dalam. Segala sesuatu  yang melatarbelakagi   terjadinya  konflik dapat  berakibat pada diri individu tersebut,  baik fisik ataupun  psikis.

b.    Wujud  Konflik
Konflik merupakan  suatu peristiwa yang sangat tidak menyenangkan yang disebabkan oleh berbagai hal. KonfIik dapat terjadi di dalam diri individu ataupun di luar individu, bergantung pada pilihan yang diambil.
Menurut Davidoff (dalam Terjemahan  Mari Juniati, 1991:178), dinyatakan  bahwa konflik dapat dibagi menjadi konflik internal dan konllik eksternal.
1)        Konflik Internal (Internal Conflict)
Konflik internal dapat  disebut juga  konflik  kejiwaan. Konflik internal (dalam diri sendiri) terjadi bila tujuan-tujuan yang saling bertentangan berada dalam diri individu itu sendiri. Konflik internal ini merupakan  konflik yang  dialami manusia dengan  dirinya sendiri.
2)        Konflik Eksternal (External Conflict)
Konflik eksternal  merupakan  konflik yang terjadi di luar individu. Konflik ini terjadi  bila dua atau lebih pilihan (option) berada di luar inidividu yang mengalami konflik.  Dengan kata lain, konflik eksternal dapat terjadi  antara seorang tokoh dengan  sesuatu  yang ada di luar dirinya, mungkin dengan  lingkungan  alam atau lingkungan manusia itu sendiri.

D.      Analisis
1.        latarbelakang pengarang dalam penciptaan cerpen.
Kecelakaan pesawat yang sering terjadi di Indonesia menjadi latarbelakang Budi Darma menciptakan cerpen dengan judul “Kisah Pilot Bejo”. Hal itu dibuktikan dengan munculnya cerpen setelah banyaknya kecelakaan yang terjadi di Indonesia. Cerpen kisah pilot bejo dimuat dalam koran Tempo edisi 29 juli 2012. Pada tahun yang sama banyak terjadi kecelakaan pesewat di Indonesia, diantaranya adam air yang sering sekali mengalami kecelakaan. Manajemen perusahan penerbangan yang asal-asalan dalam pengelolaan menjadi salah satu faktor penyebabnya selain memang kondisi fisik pesawat yang sudah usang dan keterampilan pilot yang seadanya dalam menerbangkan pesewat. Berikut kutipan dalam cerpen yang menunjukan pernyataan tersebut:
“Setelah mengikuti ujian yang sangat mudah sekali, Bejo langsung diterima tanpa perlu latihan-latihan lagi, hanya diajak sebentar ke ruang simulasi, ke hanggar, melihat-lihat pesawat, semua bukan milik Sontholoyo Airlines, lalu diberi brosur. Ujian kesehatan memang dilakukan, oleh seorang dokter, Gemblung namanya, yang mungkin seperti dia sendiri, sudah bertahun-tahun menganggur. Dokter Gemblung bertanya apakah dia pernah operasi dan dia menjawab tidak pernah, meskipun sebenarnya dia pernah operasi usus buntu”.
Dalam kutipan diatas, disinggung bagaimana buruknya sistem perekrutan maskapai penerbangan dalam merekrut pilotnya. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Wright (1991:146) yang menyatakan bahwa pengarang dengan sendirinya akan menggunakan memori untuk berkarya.

“Pilot Bejo dengan mendadak diberi tahu untuk terbang ke Makassar. Sebagai seorang pilot yang ingin bertanggung jawab, dia bertanya data-data terakhir mengenai pesawat. Dengan nada serampangan bos berkata: “Gitu saja kok ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya terbang.”
Dalam kutipan diatas, bagaimana sistem maskapai memberikan perintah terbang secara asal-asalan.
Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat. Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan kedudukan yang disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, “tidak layak lagi untuk menjadi pilot selama hayat masih di kandung badan,” dengan alasan “membahayakan jiwa penumpang.”
Dalam kutipan diatas, disampaikan kebingungan pilot dalam menghadapi keadaan yang bimbang. Disatu sisi pilot ingin bekerja secara profesional dengan mengutamakan keselamatan penumpang namun takut dengan aturan maskapai yang malah membahayakan dan bisa berakibat pada karirnya sebagai pilot.

2.        Bagian sosiokultural yang diaungkapakan dalam cerpen
Budi Darma mencoba menyampaikan pesan sosial lewat tokoh Paman Bablas. Digambarkan dalam cerita Bablas adalah paman Bejo yang bekerja sebagai pedagang yang sukses yang memiliki pandangan hidup bahwa dengan uang semua bisa diatasi. Pemikiran praktis tersebut dalam masyarakt sekarang nampaknya sudah dianggap lumrah karena pada kenyataan yang terjadi dimasyarakat memang seperti itu adanya “siapa yang punya uang bisa menjadi apa saja yang diinginkan”.

Orang ini, Paman Bablas, lebih memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi pedagang yang tidak tanggung- tanggung.
Ketika dengan malu-malu Bejo menemuinya, dengan lagak bijak Paman Bablas berkhotbah: “Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah berhasil seperti aku, heh, dapat menjadi politikus, setiap saat bisa menyogok, dan mendirikan maskapai penerbangan sendiri, kalau perlu kelas bohong-bohongan.”

Selain itu, Budi Darma juga mengangkat konflik sosial mengenai pendidikan. Ijazah SMA untuk mencari kerja dianggap sampah. Memang pada kenyataannya ijazah SMA sekarang sangat sulit untuk mencari kerja, jikapun ada pekerjaan yang lebih mengandalkan kekuatan fisik bukan kemampuan intelektualnya. Padahal ijzah SMA harus diperoleh dengan menempuh sekolah selama 3 tahun minimal dan ditentukan dengan UN yang begitu meneganggan namun setelah mendapat ijzah tidak serta merta dengan mudah mendapat pekerjaan.
“karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah”.

3.        Bagian budaya patriarki jawa yang mempengarui tokoh utama dalam novel.
Kepercayaan Bejo akan jaminan dari darah nenek moyangnya yang juga memiliki sejarah dalam bidang pekerjaan yang berhubungan dengan pengakutan orang membuat Bejo merasa aman msekipun dalam keadaan genting.
“Darah nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang terjadi”.
Selain itu, pada bagian terakhir dalam keadaan genting Bejo dengan tegas menyatakan bahwa nama Bejo akan membawa keberuntungan untuknya, penumpangnya dan keberuntungan untuk pesawatnya.
“Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!” Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan”.
Selain itu, penggunaan nama-nama jawa dalam cerita menunjukan pengaruh budaya jawa yang melekat pada pengarang. Nama Bejo, Slamet, Untung, Sugeng, Waluyo dan Wilujeng adalah nama-nama jawa yang memiliki arti pembawa keselamatan.

4.        Bagian resepsi pembaca
Cerpen “kisah Pilot Bejo” menyampaikan gejala-gejala sosial yang terjadi benar terjadi dimasyarakat. Berawal dari maskapai penerbangan yang ternyata aset perusahannya bukan milik sendiri, banyaknya kerusakan pada pesawat yang dibiarkan dan sampai harus selalu memberikan laporan baik  pada menara pengawas meski keadaan buruk. Hal itu, hanya untuk menjaga nama baik maskapai yang dibawa sang pilot. Selain itu, susahnya mencari pekerjaan dengan hanya modal ijazah SMA juga disampaikan dalam cerpen ini. Hal tersebut memang benar adanya bahwa pada masa sekarang ijzah SMA susah sekali untuk mencari kerja. Sampai pada sistem perekrutan pilot dari maskapai yang asal-asalan, pemberian jadwal penerbangan yang asal-asalan. Semua yang ditampilkan dalam cerita benar-benar merupakan gambaran dalam kehidupan nyata.

5.        Hubungan cerpen dengan nilai pendidikan dalam pembelajaran bahasa indonesia.
Penanaman karakter mandiri seperti yang dilakukan Bejo ketika mencari pekerjaan tanpa meminta bantuan pamannya dapat diterapkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Karakter mandiri dapat membantu siswa dalam mengembangkan daya saing pada dunia kerja nantinya.

6. Analisis Psikologi Tokoh Bejo
a.    Karakteristik
Bejo memiliki wajah yang kocak, selalu bersikap tenang, tidak mudah panik, tidak terlalu pandai dan mandiri.

b.    Analisis dengan pendekatan psikoanalisis yang diciptakan Freud.
1)      Id
Tokoh Bejo memilki garis keturun sebagai pekerja dibidang pengangkut orang. Pemberian nama yang mengandung makna keselamatan membuat Bejo selalu tenang dalam menghadapi segala sesuatu. Hal tersebut, senada dengan pernyataan Freud (dalam Koswara, 1991:32) Id adalah sistem kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor-faktor bawaan (Freud, dalam Koswara, 1991:32). Berikut adalah kutipan yang menunjukan adanya unsur Id:
“Darah nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang terjadi”.

2)      Ego
Keinginan Bejo untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus SMA adalah ego yang membuat Bejo malakukan usaha untuk memperoleh pekerjaan. Hal tersebut, senada dengan pendapat yang menyatakan ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam dirinya. Berikut kutipan yang menunjukan ego dalam cerita:
“Perjuangan Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah lulus SMA dia menganggur, karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah”.


3)      Superego
Keinginan Bejo untuk berusaha mencari pekerjaan sendiri tanpa meminta bantuan paman Bablas setelah lulus akademi penerbangan merupakan kepribadian yang mencerminkan nilai budaya tradisional yaitu tahu diri digambarkan dalam cerita Bejo memiliki rasa “pekewoh” atau sungkan terhadap pamannya yang telah membiayainya diakademi sampai lulus. Senada dengan hal itu, Freud menyatakan bahwa superego adalah aspek sosiologis dari kepribadian dan merupakan wakil dari nilai–nilai tradisional. Berikut kutipan yang menunjukan superego dalam cerita:
“Andaikata dia minta tolong Paman Bablas lagi, kemungkinan besar dia akan diterima oleh maskapai besar. Namun dia tahu diri, apalagi dia percaya, darah nenek moyang serta namanya pasti akan terus melesatkan panah ke atas”.

c.    Konfilk dalam cerita.
1)      Konflik Internal
“Demikianlah, dengan tangan gemetar dan doa-doa pendek, Pilot Bejo mulai menerbangkan pesawatnya”.
Kutipan diatas, menunjukan adanya konflik internal yang terjadi pada Bejo. Sebelum menerbangkan pesawat sebenarnya bejo sempat ragu dengan kondisi pesawat namun akhirnya dia memberanikan diri untuk melakukan penerbangan pertama dengan maskapai baru yaitu SA (Sontholoyo Airlines).

2)      Konflik Eksternal
“Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat”.
Kutipan diatas, menunjukan adanya konflik eksternal yang terjadi antara Bejo dan Bosnya. Bejo sebenarnya harus mengambil rute yang lebih aman untuk menghindari cuaca yang buruk namun Bejo takut dengan perintah Bosnya yang melarang pilot untuk melewati jarak yang telah ditentukan atau resikonya akan dipecat.

E.       Kesimpulan
Konflik yang dialami tokoh utama dalam cerpen “Kisah Pilot Bejo” merupakan cerminan sistem pengelolaan maskapai penerbangan yang asal-asalan. Selain itu, dengan alasan menjaga nama baik maskapai pilot sering memberikan informasi palsu kepada menara pengawas karena takut dipecat dengan tidak hormat meskipun harus menerbangkan pesawat dengan membahayakan jiwa penumpangnya.
Usaha yang dilakukan tokoh utama dalam menyelesaikan masalahnya sangatlah minim dan kurang atau dapat dikatakan hampir tidak ada. Bejo hanya mengikuti saja aturan yang sebenarnya dia tahu bahwa aturan tersebut salah. Selain itu, Bejo juga terbiasa dengan pengelolaan jadwal yang asal-asalan sampai pada akhirnya dia terbang ke Makasar secara mendadak dan harus menempuh rute yang berbahaya dia lakukan karena.


DAFTAR PUSTAKA

Wani Piro ___ hahahaah ^_^